Luar Biasa, Dosen Prodi MBS Mengukir Prestasi Pada Event AICIS 2023
Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) sebenarnya merupakan salah satu “buah†dari perkembangan studi Islam pada masa Soeharto. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika cikal bakal AICIS adalah pertemuan ulama Islam di Semarang, 2001. Tahun itu Indonesia baru memulai era baru yang disebut “era reformasiâ€, setelah mengalami beberapa kesulitan transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Promotor awal AICIS adalah Forum Direksi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Islam Negeri. Apa yang mereka pikirkan adalah mengadakan konferensi yang mirip dengan Konferensi Asosiasi Studi Timur Tengah, Akademi Agama Amerika dan sejenisnya.
Kharis Fadlullah Hana, M.E selaku Dosen yang lolos dalam Event AICIS menyatakan, Dalam pembukaan AICIS, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas pada sambutan pembukaan meminta agar perhelatan tahunan AICIS tidak hanya membahas public policy, tapi juga tema-tema yang relevan dengan konteks kekinian, baik nasional maupun global. Dia menekankan pentingnya rekonsteksualisasi Islam melalui kajian akademis dan intelektual. Adapun langkahnya ada tiga, yaitu: Pertama, mendorong berkembangnya wacana rekontekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis dan intelektual, elemen kedua, medorong terbentuknya konsensus-konsensus di antara kekuatan-kekuatan politik global untuk mendukung upaya rekontekstualisasi Islam dan melegitimasi pandangan Islam yang sesuai konteks kekinian dan nilai-nilai kemanusiaan. Elemen ketiga, Menag yaqut melanjutkan, mendorong tumbuhnya gerakan sosial di tingkat akar rumput untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai universal yang mempersatukan seluruh umat manusia serta mengoperasionalkannya dalam kehidupan sosial-budaya yang nyata.
Dengan tema utama “Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peaceâ€, para pembicara pada AICIS ke-22 ini diharapkan memfokuskan diskusi tentang Rekontekstualisasi Fiqh sebagai sebuah keniscayaan untuk mendukung prinsip kesamaan derajat kemanusiaan dan perdamaian yang berkelanjutan. Sebagai norma imperatif dasar dan sentral dalam Islam, fiqh memegang peranan penting dalam membentuk cara pandang, sikap dan perilaku dalam relasi antar manusia. Untuk itu, bagaimana menyelaraskan norma dasar fiqh dengan isu-isu kemanusian menjadi tugas para sarjana yang mesti terus diusahakan karena fiqh sesungguhnya adalah wacana yang terbuka dan inklusif. Rekontekstualisasi akan menempatkan fiqh bukan sebagai doktrin yang resisten terhadap kritik dan pemaknaan ulang, akan tetapi sebagai perspektif yang menginspirasi bagi kemanusiaan, peradaban dan perdamaian.
Artikel yang bertema “Branchless Banking: Service Innovation Through Additive Models and Transformational Models at Bank Syariah Indonesia †dipresentasikan oleh Kharis Fadlullah Hana dengan peserta dari Dosen dari berbagai perguruan Tinggi, Mahasiswa S3 dan Mahasiswa S2 UIN Sunan Ampel. Artikel itu berisi tentang Kehadiran Bank Digital saat ini memberikan tantangan baru untuk Bank konvensional. Operasional Bank dituntut dapat menyesuaikan perkembangan teknologi. Apabila tidak dapat mengikutinya Bank akan ditinggalkan oleh nasabahnya. Tujuan penelitian ini untuk menggali inovasi yang dilakukan oleh Bank Syariah Indonesia dalam menghadapi serangan bank digital. Layanan digital melalui Additive models dan transformasional models selama ini telah dilakukan, tetapi hasilnya kurang optimal. Penelitian ini menggunakan data wawancara yang bersumber dari manajer dan frontliner Bank Syariah Indonesia. Pendekatan penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan dalam mengoptimalkan branchless banking, Bank syariah Indonesia memberikan fasilitas layanan pembukaan rekening melalui mobile banking. Temuan lainnya adalah Bank Syariah Indonesia menggunakan Strategi Gardening. Rekomendasi hasil penelitian ini meningkatkan layanan branchless banking melalui laku pandai BSI Smart.